Sosok, Pelitarakyat.id — Salah seorang Rais Syuriyah PBNU. Seorang ulama-intelektual yang mempunyai keahlian di bidang fiqih dan ushul fiqih, dan terutama peduli pada pengembangan fiqih sosial bagi kemaslahatan umat.
Tema-tema yang akrab terkait bidang kajiannya adalah masalah sosial yang muncul di masyarakat, seperti hukum keluarga, lingkungan hidup, dan etika ekonomi.
Ia dikenal sangat teguh memegang prinsip, namun santun dalam bertutur kata. Ali Yafie lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926. Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya Mohammad Yafie, kemudian belajar di sekolah rakyat, dilanjutkan nyantri di beberapa pesantren, yakni di Pesantren Ainur Rofiq di Rappang di bawah asuhan Syaikh Ali Mathar, Pesantren Syaikh Ibrahim (Sidenreng, Rappang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampoe, Pinrang), dan di pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), Singkang di bawah asuhan Syaikh Muhammad As’ad. Di pesantren DDI inilah, Ali Yafie mulai belajar berorganisasi.
Di samping mengajar di madrasah, ia menjadi pengurus DDI sebagai Sekretaris Umum (1957-1963) lalu Ketua Umum DDI (1963-1966). Ali Yafie aktif dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) mulai dari Cabang Pare-Pare sebagai Rais Syuriyah dan pernah duduk di DPRD Pare-Pare (hasil Pemilu 1955) sebagai wakil dari Nahdlatul Ulama, kemudian aktif di kepengurusan NU Wilayah Sulawesi Selatan.
Pada Muktamar NU 1971, Ali Yafie menjabat salah satu Rais Syuriyah, dan menjadi anggota DPR RI dari Partai NU mewakili daerah Sulawesi Selatan. Ketika NU fusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ia menjadi anggota DPR RI periode 19771982.
Pada Muktamar NU di Semarang (1979) dan Situbondo (1984), dia terpilih kembali sebagai Rais Syuriyah, dan di muktamar Krapyak (1989) sebagai Wakil Rais Am di bawah Rais ‘Am KH Achmad Siddig. Setelah Kiai Achmad Siddig wafat pada 1991 dia mengemban sebagai Pejabat Rais Am hingga dilaksanakan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung (1992).
Pada saat itu, ia mengundurkan diri, dan jabatan Rais ‘Am dipegang oleh KH Ilyas Ruhiat. Ali Yafie juga mengabdi di pemerintahan. Karier birokrasinya diawali sebagai hakim di Pengadilan Agama Makassar (1959-1962), dan kemudian Inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).
Sejak 1965 hingga 1971 menjadi dekan di Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, serta staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin. Setelah Itu, dia lebih menekuni dunia pendidikan, mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, di antaranya sebagai Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur’an, dan Guru Besar Universitas Islam asy-Syafi’iyah.
Gelar profesor di bidang ilmu fiqih dianugerahkan kepadanya pada 12 Oktober 1991 di Institut Ilmu Al-Qur’an. Pidato pengukuhannya berjudul “Norma Fiqih Lingkungan Hidup” sebagai jawaban atas masalah kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
Di samping itu, ia menjadi wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Ketua Dewan Penasihat MUI, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), anggota Dewan Riset Nasional (DRN), anggota Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, serta anggota Komite Ahli Perbankan Syariah Bank Indonesia.
Atas berbagai pengabdiannya, Kiai Ali telah menerima Tanda Jasa/Penghargaan Bintang Maha Putra dan Bintang Satya Lencana Pembangunan dari pemerintah RI. Karya-karyanya yang telah banyak dipublikasikan berisi solusi hukum Islam terhadap berbagai permasalahan sosial (muamalah) yang dikemas dalam konteks keindonesiaan. Ia memadukan secara kritis warisan-warisan fiqih dan mengartikulasikan kembali dalam idiom modern.
Beberapa bukunya antara lain Menggagas Fiqih Sosial (1997), Fiqih Perdagangan Bebas (2003), dan Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006).
Sumber: Nuonline.or.id

