Opini, Pelitarakyat.id — Dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional di tahun 2023, banyak hal yang menjadi perhatian bahkan menjadi pekerjaan bersama untuk diselesaikan. Mendiskusikan kesehatan nasional bukan menjadi tugas yang berada dipundak Kementerian kesehatan semata, semua lapisan masyarakat, semua stakeholder harus ikut bergotong royong dalam mensukseskan program kesehatan nasional.
Memang bukan hal yang mudah untuk mewujudkan semua itu, tetapi dengan sikap gotong royong yang telah diwariskan oleh para generasi sebelum kita hal itu diyakini dapat tercapai. Peringatan Hari Kesehatan Nasional ini diperingati setiap tanggal 12 November. Di Tahun ini Kementerian Kesehatan mengangkat tema Transformasi Kesehatan Untuk Indonesia Maju.
Isu kesehatan ini sedang mencuri perhatian publik hal ini harus menjadi seruan aksi secara berjamaah, mulai dari Stop pernikahan anak dibawah umur, Kesehatan Reproduksi perempuan sampai pada pencegahan dan penurunan angka stunting pada level Desa, Dusun, RT, RW.
Perlukah Berjihad dalam Pencegahan Stunting?
Sebelum masuk terlalu jauh dalam membahas persoalan berjihad yang kadang dimaknai sebagai sebuah proses perlawanan ekstrim, angkat bendera, bahkan angkat senjata. Sebaiknya kita sepakat terlebih dahulu dalam memaknai kata Jihad, saudara-saudara muslim dan muslimah pasti tahu betul bagaimana konsep jihad dan bahkan bagaimana menjadi seorang Mujahid.
Pada tulisan ini, saya tidak sedang menghubungkan kata Jihad dengan gerakan terorisme seperti yang selama ini lekat dengan kata tersebut. Jihad merupakan suatu bagian dari berdakwah yang esensinya Amar ma’ruf Nahi Mungkar sehingga didalamnya yang dilakukan hanyalah hal-hal yang penuh dengan kebaikan.
Dalam isu kesehatan, memang sangat dibutuhkan kesadaran, kepekaan,dan kepedulian yang lebih dari sekedar kata. Sebab dalam aksi mewujudkan kesehatan terlebih kesehatan Ibu dan Anak bukan hanya membutuhkan susunan regulasi tetapi lebih kepada kesadaran masyarakat.
Masih tingginya angka pernikahan anak dibawah umur yang terjadi di Kabupaten Bulukumba, merupakan warning tersendiri untuk kita semua, bukan menganggap bahwa Dinas terkait tidak bekerja dengan maksimal tetapi sudah saatnya kita mengubah mindset berpikir dan mindset bergerak, tidak menggampangkan saat memberikan dispensasi pernikahan anak dibawah umur.
Sebab jika pernikahan anak dibawah umur terus meningkat,artinya kita akan tetap dihantui bayang-bayang hadirnya kasus-kasus stunting yang baru atau bahkan yang paling fatal adalah kematian ibu dan anak. Dan ini akan menjadi lingkaran problem yang tidak berujung, pelayanan balai nikah harus lebih telaten lagi sebelum menikahkan para Calon Pengantin (Catin) harus lebih memastikan apakah semua sudah sesuai mekanisme yang ada.
Memutus mata rantai, peningkatan angka Stunting.
Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sudah sangat tegas menyampaikan usia perempuan dan laki-laki yang boleh menikah, Hal ini dapat dilihat di Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019. Menjelaskan secara detail bahwa usia minimum menikah baik anak perempuan dan anak laki-laki yah di usia 19 tahun.
Aturan ini tidak serta merta diterapkan , diyakini perancang undang-undang hinga penyusun naskah akademik sudah mempertimbangkan batas minimum usia Catin. Sebab jika menikah dibawah umur sangat banyak resiko yang menghantui kedepannya dan lebih banyak mengarah kepada perempuan, terlebih jika sedang hamil.
Kematian Ibu dan Anak menjadi suatu yang sangat di khawatirkan jika hal ini tetap dibiarkan, peningkatan angka stunting sangat mungkin terjadi sebab anak yang dinikahkan belum cukup memahami apa saja yang harus dilakukan saat mulai mengandung bahkan bagaimana pola asuh anak, meningkatnya pernikahan anak dibawah umur dapat menambah tingginya angka perceraian di suatu daerah sebab pasangan suami istri yang notabenenya anak dibawah umur belum siap secara emosional dan spiritual.
Saat ini bukan hanya Kementerian Kesehatan yang fokus dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak, menurunkan angkat stunting yang ada di daerah. Kementerian desa pun sangat serius dalam menangani isu kesehatan ini. Salah satu bentuk keseriusannya dapat dilihat dalam tujuh prioritas penggunaan dana desa, bahkan didalam Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2023 sudah dijelaskan rincian tindakan promotif dan preventif yang dapat dilakukan dalam pencegahan dan penurunan angka stunting.
Jihad di isu kesehatan ini, dapat dimulai dari pintu keluarga masing-masing, salah satu caranya meminimalisir praktik-praktik patriarki dalam keluarga, menyadari bahwa kesehatan, tumbuh kembang anak bukan mutlak menjadi tanggung jawab ibu semata, harus ada keseimbangan peran antara perempuan dan laki-laki. Seperti yang telah diingatkan dalam QS an nisa’ [4] :9 Allah memperingatkan kepada kedua orang tua (lelaki dan perempuan) agar jangan meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah. Lemah yang dimaksud disini luas dalam artiannya seperti lemah dalam fisik, lemah pengetahuan, lemah mental, lemah ekonomi.
Sudah hampir sempurna ulasan para pakar dalam isu kesehatan, terlebih dalam pencegahan dan penurunan angka stunting. Kita mengenal yang namanya pola pengasuhan 1000 hari pertama kehidupan bahkan pola ini sudah harus diterapkan sejak terbentuknya janin didalam kandungan.
Pola pengasuhan 1000 hari pertama kehidupan, menjadi masa masa emas bagi sang calon bayi sebab di periode ini pembentukan sel sel otak, serabut-serabut saraf terjadi sangat cepat dan perkembangan otak hampir sempurna yaitu mencapai 80%, hal ini yang dapat mengantarkan bagaimana kualitas bayi yang akan dilahirkan.
Didalam rumah tangga yang disebut keluarga kecil disitulah corong mata rantai stunting dapat dihentikan, jika program-program dan kebijakan pemerintah dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari hari tentunya dilandasi oleh kesadaran dan kepekaan setiap individu atas perannya.
Jika semua semua berkomitmen menurunkan dan mencegah terjadinya peningkatan angka stunting. Saya meyakin keluarga dapat menjalankan dengan baik fungsi religius ,fungsi afektif,fungsi sosial, fungsi edukatif, fungsi protektif, fungsi reaktif.
Praktik-praktik baik dalam mencegah peningkatan angka stunting tidak boleh hanya berhenti pada penetapan kebijakan saja, harus dibarengi sikap istiqomah dan konsisten dalam menolak pernikahan anak dibawah umur sebab keduanya dapat disebut sebagai proses sebab dan akibat.
Olehnya itu, Jihad mencegah stunting tidak boleh hanya sampai pada meja pembahasan anggaran saja tetapi harus betul-betul dipastikan dampaknya ke masyarakat, sebab masyarakatlah yang menjadi sasaran utama kita.

